Izinkan Aku Memilihmu

 Izinka Aku memilihmu


“Has, kamu yakin kan bahwa cinta itu tak pernah salah.”


“Yakin saja karena cinta itu anugerah dan setiap orang berhak untuk mendapatkannya.’’


Mendengar itu senyum semringah terlukis pada raut wajah Sapto. Ia memandang  Hastuti dengan tatapan yang lembut. Angannya kembali pada masa silam dimana mereka  masih saling berbagi kasih. Baginya Hastuti adalah bidadarinya dan berharap akan menjadi ibu dari  generasi penerusnya. Namun rupanya ada pihak ketiga yang memporak porandakan hubungan mereka hingga api menyala berkobar menjadi abu yang beterbangan. 


“Hai, Sap! Kenapa memandangiku dengan senyum  begitu?” tanya Hastuti


Sapto terkejut, pura-pura menyesap teh beraroma melati untuk menghilangkan rasa terkejutnya.


“Aku hanya teringat kenangan kita saja. Apakah kamu masih mengingatnya?’’


“Oh, yang berlalu biarlah berlalu. Bukankah yang berlalu tidak bisa berulang, bukan?”


“Benarkah yang berlalu biarlah berlalu!”


“Apa yang membuatmu ragu dengan perkataanku?”


“Sorot matamu terlalu jujur untuk berbohong.”


“Omong kosong,” kata Hastuti sambil tersenyum. Kemudian Hastuti   diam  untuk mengurangi rasa canggung ia mengambil  kentang goreng terus mengunyahnya perlahan. Jauh di lubuk hatinya  membenarkan apa yang dikatakan Sapto. 


“Gini Has, aku ingin jawaban yang jujur  seperti sorot matamu yang tidak bisa berbohong. Kita belum ada kata putus hanya merenggang. Bagaimana kalau kita jalin kembali ikatan yang telah merenggang?”


“Semudah itukah kamu memaknai sebuah cinta? Disaat ada problem, emosi yang dikedepankan, gelap mata terus menghilang. Kemudian setelah reda kamu datang dan mengharap semua kembali seperti semula. Itu mustahil Sapto.”


“Tidak ada yang mustahil Has, pasti ada celah untuk bersatu kembali.”


“Tidak semudah membalik telapak tangan untuk menata hati yang telah retak. Aku butuh waktu dan  butuh perubahan sikapmu dalam menghadapi masalah.”


“Berarti masih ada celah  dan kemustahilan itu bisa terjawab.”


“Aku tidak bisa jawab sekarang,  waktu yang akan mengujinya.”

"Sampai kapan harus menunggunya. Bukankah waktu itu tidak akan habis. Itu sama saja kau mengantung ku tanpa ada kepastian. Aku hanya ingin kepastian. Aku sanggup menunggunya asal ada ketetapan waktu.  Berpikirlah kembali!"














Comments

Popular posts from this blog

Reading Slump

Parenting Memahami Anak Usia Dini

Sehat ala Rasolullah Bisa Hidup Tenang