TABUR TUAI (Cermin)

 TABUR TUAI



Oleh: Es Setyowatie

 "Pung, maafkan aku," kata Ijah yang berbaju biru dengan napas  tersengal-sengal. Ipung bergeming memandangi tubuh Ijah yang  lemas karena kekurangan oksigen.  Perempuan berbaju biru itu terjebak dalam kamar saat rumahnya kebakaran. Beruntung warga sigap sehingga bisa dievakuasi. Wajah Ijah semakin pucat  namun dia tidak bisa tenang, tangannya menggapai gapai ingin meraih sesuatu sambil menyebut nama Ipung sampai ajalnya tiba.


Sementara api masih berkobar disertai angin sehingga mempersulit proses pemadaman. Akibatnya bangunan  rumah dan gudang  rata dengan tanah. Habis sudah harta benda Ijah tiada yang tersisa. Nyawa melayang harta benda hilang.  Anaknya yang masih hidup, Ningsih harus menangung hutang.


*** 

"Bu Ipung, maafkan kesalahan Ibu saya," pinta Ningsih.

Ipung masih diam tidak bereaksi seakan keras hatinya tidak bisa luluh  oleh kematian Ijah, sahabatnya.


"Bagaimana, Ning aku harus memaafkannya. Rasa sakit hatiku akibat ulah  emakmu masih terasa dan butuh waktu untuk melerainya."


"Tapi, Bu. Kalau tidak ada kata maaf dari ibu jalannya emak saya di alam kubur akan tersandung. ."

Lagi-lagi Ipung  hanya bergeming. Jauh di lubuk hatinya tidak tega melihat  gadis berbaju hitam itu terus mengiba memohonkan maaf. Namun, bayangan air susu dibalas air tuba  oleh almarhum Ijah membuat hatinya mengeras lagi. 


Bagaimana tidak sakit hati, Ijah yang waktu itu dalam kesulitan berhutang pada Ipung yang nota bene adalah sahabat karibnya.    Ijah yang bangkrut usahanya memimjam dana pada Ipung untuk memulai usaha lagi. Tentu saja Ipung tidak tega  melihat sahabatnya terpuruk. Apalagi janjinya tidak butuh waktu lama untuk mengembalikan. 


Rupanya  janji tinggalah janji, setelah Ijah sukses usahanya  tiada memenuhi janjinya. Roda berputar kemudian Ipung yang bangrut. Untuk menstabilkan ekonomi, ia ingin menagih janji pada Ijah  agar melunasi utangnya. Namun, utang tidak dibayar ditambah mendapat  perlakuan yang kurang enak ditambah kata kata yang menyakitkan. 

"Jah, utang tetaplah utang, kamu punya kewajiban untuk bayar. Namun, kalau kamu selalu berkelit akan mendapat buah dari perbuatanmu." Kemudian Ipung pergi dengan membawa sakit hati.


"Bagaimana, Bu  mohon dimaafkan kesalahan ibu saya  nanti saya yang akan membayar hutangnya ," kata Ningsih

Mendengar kata Ningsih, Ipung tersadar dari lamunannya.

"Apa yang kamu katakan tadi," tanyanya.

"Saya tetap memohonkan maaf ibu saya dan hutang itu akan menjadi tanggung jawab saya."

Melihat kesungguhan anak itu, sebenarnya hati  Ipung mulai goyah, tapi bila bayangan perilaku  Ijah muncul keras hatinya mulai lagi. Timbul keraguan antara  memaafkan apa bertahan. 


"Jangan membuat janji diatas janji, tapi tunjukkan buktinya saja. Takutnya nanti mengingkari lagi. Sedangkan untuk memaafkan emakmu,  itu semua tergantung bagaimana sikapmu padaku. Jika sikapmu bisa menghargai diriku  bisa memaafkan sepenuh hati. Namun, jika  tidak berlaku baik, semua akan saya kembalikan pada Allah."

Wallahu 'alam

Gresik, 24-04-2024



 M













Comments

Popular posts from this blog

Reading Slump

Parenting Memahami Anak Usia Dini

Sehat ala Rasolullah Bisa Hidup Tenang