Selalu Ada Jalan(Cerpen)
Selalu Ada Jalan
Oleh:Essetyowatie
"Mas, kamu tidak merasakan ada perilaku ganjil dari keluarga besarmu padaku," komentar Fani pada Ali, suaminya, saat memasuki halaman rumahnya. Meraka baru saja menghadiri pertemuan halal bi halal keluarga besar suaminya.
Ali mengerutkan dahinya mencerna kata-kata Fani, istrinya, sambil mengingat peristiwa di rumah budenya tadi.
"Kita turun dulu! Setelah itu bisa ngobrol sambil minum teh hangat. Lebih enak, bukan?" jawab Ali.
"Hmm ... benar juga, baiklah," ucapku.
Kami menurunkan buah tangan yang diberi oleh Bude kemudian bergegas masuk ke rumah meletakkan bingkisan itu di dapur. Kurebahkan tubuhku di sofa di ruang keluarga. Hatiku masih ngedumel mendengar sindiran mereka. Sebenarnya apa salahku, bila sampai saat ini Allah belum berkehendak untuk memberi aku momongan, aku bisa apa.
Kembali terngiang kata Bude," Masa kamu kalah sama Mbak Rita, baru setahun udah mempunyi anak. Jangan -jangan kamu bermasalah." Belum lagi Mbak Nia putrinya bude yang lebih pedes ngomongnya.
"Fani, mengapa wajahmu suntuk begitu, seharusnya senang telah bertemu dengan keluarga besar. Kesempatan langka tidak setiap waktu bisa ketemu. Apakah ada pikiran yang mengganggumu?" tanya Ali
"Aku benar-benar suntuk dan tidak tahu harus berbuat apa, bisa- bisa aku stress kalau tertekan begini secara terus menerus," kataku dengan hati yang kesal
"Fan ngomongnya bisa satu persatu bukan? Jangan panjang begitu, tanpa koma pula. Satu satu dulu apa permasalahannya. Aku bingung dengarnya." Kata Mas Ali sambil melangkah duduk di sampingku dan tangannya membelai rambatku
"Iya, bisa," sahutku dengan senyum yang kupaksakan.
"Fan yang sabar ! Aku juga dengar, Fan , kata-kata Bude yang ditujukan untukmu dan sindiran -sindiran itu. Apalagi kat Mbak Nia yang terdengar menyakitkan. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Hanya saja kita harus bisa mengelola emosi bila berkumpul dengan keluarga besar."
"Sabar, samapi kapan, Mas! Aku jadi enggan kalau ada pertemuan keluarga besar untuk datang, yang ditanyakan pasti, "Kapan punya anak? Segeralah, jangan di tunda-tunda!" Aku paling sewot kalau sudah dapat pertanyaan seperti itu. Memang kita bisa menentukan punya anak. Bukankah itu semua kuasanya Allah. Kalau Allah belum memberi kita bisa apa? Sudah Mas aku lelah! Datanglah saja sensiri. Aku pun ikhlas jika kamu men----. Belum sempat aku melanjutkan jari telunjuk Mas Ali dilekatkan kebibirku. Pertanda aku tidak boleh melanjutkan."
Aku bergeming dan air mataku mengalir, isakan tangisku tidak bisa kubendung, tubuhku hampir oleng. Mas Ali bergerak cepat memelukku.
"Fani, sabar tidak ada batasnya! Apa pun yang terjadi jangan pernah ucapkan kata itu. Aku sangat mwncintai mu. Salah satu tujuan menikah memang untuk mendapatkan keturunan, tapi kita hanya berhak usaha dan Tuhanlah yang menentukan finalnya. Kita sudah berusaha periksa ke dokter dan hasilnya baik-baik. Kita bisa punya keturuanan, dan itu hanya soal waktu. apakah kamu lupa hasil periksa yang pernah kita lakukan?" tanya Mas Ali
"Aku ingat Mas, tetapi telingaku panas saat mendengar cemohan yang seperti itu dan sering terjadi."
"Baik kalau begitu, kita hadapi bersama ya, kita cari jalan keluarnya. Begini saja, ada dua pilihan menurutku dan kamu berhak menolak jika ridak setuju. Pilihan pertama kita adopsi dan pilihan kedua kita program inseminasi buatan dan sabar menunggu. Kamu tidak harus memilih sekarang, pikirkan baik baik dan satu hal kamu jangan tertekan dan stress karena itu bisa menghambat keinginan kita untuk punya momongan. Tepat berharap dan berdoa pada Allah dan jangan pernah berputus harapan."
Aku menganggukkan kepala karena terharu dengan penjelasannya Mas Ali, andai saja setiap orang bisa mengerti, memahami dan tidak menghakimi setiap masalah yang sedang dihadapi orang lain tentu hidup ini akan menyenangkan. Tetapi hanya sedikit orang yang bisa melakukan itu.
Comments
Post a Comment